Berawal dari membaca buku Ed Finn dalam *What Algorithms Want: Imagination in the Age of Computing*, saya teringat ketika Pinterest menjadi fenomena baru dalam mencari inspirasi visual. Kita secara sadar mulai digerakkan oleh pemrograman dan kode komputer. Menjadi menarik ketika dalam profesi desain kita memerlukan inspirasi yang cepat. Dahulu, kita harus sibuk mencari buku-buku desain, tetapi sekarang kita hanya tinggal mengetik kata kunci di mesin pencari.
Ada baik dan buruknya untuk algoritma ini. Para desainer mungkin harus sedikit berhati-hati dengan keadaan ini, karena sebagai desainer, kita seharusnya tidak menutup mata dalam mencari inspirasi. Kadang yang terjadi ketika menggunakan algoritma ini adalah kita menjadi “satu jalur” atau menggunakan “kacamata kuda” karena sistem ini akan mencari yang paling sering dicari, dan akhirnya kita hanya menemukan inspirasi yang sama dengan kebanyakan orang. Mengutip fisikawan populer Neil deGrasse Tyson, kita diingatkan, “Dalam sains, ketika perilaku manusia memasuki persamaan (equation), segala sesuatu menjadi tidak linier. Itu sebabnya fisika mudah dan sosiologi sulit.”
Desainer di masa sekarang harus pintar memanfaatkan algoritma ini karena dengan sistem ini, kita sangat mudah untuk menggali ilmu-ilmu desain lainnya atau yang berhubungan dengan inspirasi kita. Misalnya, kita bisa mengetahui latar belakang dari tokoh-tokoh desain yang kita kagumi. Ini merupakan bahan penting untuk belajar sambil mengetahui latar belakang dari konsep-konsep desain yang dibuat.
Saat ini, memang mulai agak kabur antara tren atau algoritma. Desainer harus sangat berhati-hati dalam menyikapinya, terutama jika berhadapan dengan klien. Membaca algoritma dari sudut pandang desainer seharusnya berbeda, karena inspirasi seharusnya menjadi percikan dalam otak kita untuk menemukan sesuatu yang baru berdasarkan pemikiran kritis desain. Dinamika yang terjadi harusnya kita manfaatkan dengan baik.
Ketepatan, ketelitian, atau konsistensi adalah karakteristik algoritma. Namun, kita sebagai desainer tidak seharusnya mengikuti pola ini untuk mencari inspirasi. Desainer harus membuat pola riset dan pengembangan, dan jangan lupa bahwa desainer punya perasaan dan emosi. Dua komponen ini menjadi penting dan memberikan nilai lebih dalam menciptakan sesuatu berbasis desain. Kata kuncinya seharusnya adalah “why not.”
Inspirasi dari algoritma bisa berkembang luas — memproses triliunan data terabyte per detik — tetapi itu hanya proses. Kita harus memilih dan memilah agar keputusan desain bisa berdasarkan humaniora. Desainer mempunyai kemampuan merasakan dan memicu empati, yang membedakan dari sekedar mencari inspirasi dalam tuntunan algoritma.