Kisah Klasik: Cerita tentang Blok M

Blok M bagi saya adalah rumah kedua karena sejak kecil saya selalu berada di sekitar sana. Tiada hari tanpa pergi ke Blok M. Setiap minggu, saya pasti pergi ke Blok M untuk makan bakmi GM atau sekadar melihat-lihat buku di Gramedia. Pengalaman yang saya dapatkan dari Blok M sangat holistik, mulai dari diancam preman hingga menjadi teman mereka, semua menjadi kisah yang tak terpisahkan.

Blok M memiliki pengalaman visual yang sangat besar bagi saya. Salah satu gedung yang saya ingat betul adalah Aldiron Plaza, dengan atapnya yang membentuk segitiga tajam yang sangat futuristik. Gedung ini berwarna hitam dan berdiri di jantung Blok M, menjadi sangat ikonik. Pada zamannya, jika ingin belanja barang berkualitas, Aldiron Plaza adalah tempatnya. Saya sendiri sering membeli mainan diecast merk Matchbox di sana. Gedung Aldiron Plaza selesai dibangun tahun 1978 dengan desain yang sangat futuristik, termasuk lift kapsul di depannya, salah satunya dari dua lift kapsul yang ada di Jakarta pada masa itu, selain di Ratu Plaza.

Pada masa SMP, Aldiron menjadi magnet anak muda karena di sana ada arena sepatu roda terkenal, Lipstick dan Happy Day, serta arena boling yang menjadi andalan Blok M. Radio Prambors juga sempat membuat studio di lantai 6 Aldiron. Pada masanya, Aldiron adalah magnet hitam legam Blok M.

Namun, perubahan signifikan mulai terjadi ketika Aldiron mulai ditinggalkan. Dua gedung besar yang ikonik, Pasaraya dan Blok M Plaza, mulai muncul di daerah Blok M, serta pembangunan terminal bus modern Blok M. Daerah Aldiron pun mulai menjadi agak seram karena tradisi “palak-memalak” yang terjadi di sana. Selain itu, daerah tersebut juga dikenal sebagai pusat sablon dan pembuatan piala, serta tempat membeli bahan-bahan untuk pelajaran nirmana datar atau maket.

Pada tahun 80-90an, Blok M menjadi tempat tongkrongan wajib. Sore hari, banyak anak muda memarkirkan mobil di depan Dairy Queen hingga KFC, kemudian duduk di kap mobil sambil membawa boom box. Lagu “Jalan Sore” dan film “Catatan Si Boy” juga mengambil setting di daerah ini. Salah satu gedung yang signifikan bagi saya adalah Melawai Plaza, dengan fasadnya yang unik. Gedung ini penuh dengan pengalaman pribadi saya, mulai dari bolos sekolah untuk main dingdong hingga mencari hadiah untuk pacar.

Blok M sebenarnya adalah rancangan Belanda yang ingin membuat kawasan pemukiman dengan konsep taman. Sejak itu, dibuatlah Blok A-S pada 1947. Daerah Blok M semakin dikenal setelah Indonesia menyelenggarakan Asian Games pertama pada tahun 1962. Budaya pop Indonesia tahun 80-90an banyak dilahirkan dari Blok M. Selain lagu “Jalan-Jalan Sore” oleh Denny Malik, ada novel “Olga” oleh Hilman Hariwijaya, hingga sandiwara radio “Catatan Si Boy” yang kemudian difilmkan. Budaya makan cepat saji juga dimulai dari sini dengan kehadiran KFC, American Hamburger, Ice Cream Swensens, Burger King, dan Dairy Queen. Selain itu, ajang kreativitas juga muncul dari daerah Blok M dengan adanya Wapres (Warung Apresiasi) di GOR Bulungan.

Budaya pop Indonesia memang tidak bisa lepas dari Blok M yang kini mulai dijalani oleh kaum Gen Z dengan adanya MBloc. Tempat ini disediakan untuk para muda berkreasi, dengan gaya nostalgia yang apa adanya. MBloc diharapkan menjadi titik awal perkembangan baru budaya pop milenial, dengan tempat terbuka tanpa sekat dan mengambil style nostalgia. 

Blok M kini juga memiliki berbagai kedai kopi kecil, angkringan malam, serta pasar kue pagi. Perusahaan unicorn Indonesia pun berkantor di daerah Blok M. Semua ini bukan untuk menciptakan kesan pabrikasi ide, tetapi agar ide berkembang secara organik. Blok M adalah tempat yang heterogen dengan adanya Little Tokyo di dalamnya, serta pasar Blok M yang menciptakan proses asimilasi budaya yang menarik.

Budaya pop masa kini seharusnya berbanding lurus dengan jiwa serta rasa yang diikuti oleh proses kreativitas baru. Blok M bisa menjadi jembatan kuat untuk proses kolaborasi, atau hanya sekadar tempat apa adanya. Paling tidak, Blok M pernah bercerita tentang budaya pop Indonesia pada masanya.